Jenis Film : Drama
Produser : Ram Soraya, Sunil Soraya
Produksi : PT. Soraya Intercine Film
Sutradara : Sunil Soraya
Casts: Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahardian, Randy Nidji, Gesya Shandy, Arzeti Bilbina, Kevin Andrean, Jajang C. Noor
Sinopsis
Nusantara 1930, dari tanah kelahirannya Makasar, Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Diantara keindahan ranah negeri Minangkabau ia bertemu Hayati, gadis cantik jelita, bunga di persukuannya. Kedua muda mudi itu jatuh cinta. Apa daya adat dan istiadat yang kuat meruntuhkan cinta suci mereka berdua. Zainuddin hanya seorang melarat tak berbangsa, sementara Hayati perempuan Minang keturunan bangsawan.
Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz, laki-laki kaya berbangsa yang ingin menyuntingnya. Perkawinan harta dan kecantikan mematahkan cinta suci anak manusia. Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang, pergi dari ranah minang dan merantau ke tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya. Sampai akhirnya ia menjadi penulis terkenal dengan karya-karya mashyur dan diterima masyarakat seluruh Nusantara.
Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada diri seorang Zainuddin, di tengah gelimang harta dan kemashyurannya. Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Perkawinan harta dan kecantikan bertemu dengan cinta suci yang tak lekang waktu. Pada akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya, dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck.
Review
Setiap film yang diangkat dari sebuah novel kebanyakan tak pernah bisa memuaskan pembacanya karena pembaca telah memiliki visualisasi masing-masing dalam imajinasinya. Saya yang lebih senang membaca tentu lebih memilih novelnya, tapi saya juga tetap menikmati filmnya sebagai bentuk hiburan yang berbeda. Jujur film ini membuat saya banjir air mata saat menontonnya (sampai maskara waterproof pun ikut larut ). Saya tidak kenapa awalnya hanya terharu tanpa air mata, tiba-tiba saja menangis hebat saat hampir di akhir.
Setelah disuguhi keindahan Eropa di film 99 Cahaya di Langit Eropa (cek review), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVDW) menampilkan keindahan Indonesia yang tak kalah dengan Eropa. Setting yang cukup baik menggambarkan tahun 1930, penggambilan gambar yang apik walau beberapa ada sedikit jomplang, ditambah musik yang menyayat hati meski di beberapa scene terlalu berlebihan, film ini tetap berkualitas untuk ditonton. Kebudayaan Minang yang ditonjolkon sepanjang film menambah nilai tersendiri dalam film ini.
Awalnya saya sempat geli dengan dialog para pemain, tapi lama-lama terbiasa juga dengan gaya kalimat tahun 30-an. Bahasa daerah yang digunakan: Makassar, Padang, Jawa Suroboyoan sangat mendukung cerita yang memang berlatar tempat-tempat teersebut (walaupun saya tidak mengerti bahasa Padang dan Makassar, tidak tahu apakah logat pemain sudah benar atau tidak , tetap usaha mereka patut diapresiasi).
Akting pemain yang menarik perhatian saya adalah Reza Rahardian, Arzeti Bilbina, dan Randy Nidji. Reza mampu bertransformasi dari seorang suami penyayang di Habibie Ainun menjadi seorang suami tempramen semacam Aziz di TKVDW, ya memang Reza tak pernah mengecewakan saya sih . Reza seperti benar-benar menjelma menjadi Aziz, natural dan tidak ngotot. Pas. Randy yang berperan sebagai Muluk, sahabat Zainuddin (Herjunot Ali), sangat natural dan menghibur. Arzeti yang berperan sebagai ibu dari Muluk juga cukup mengesankan meski hanya tampil sebentar.
Junot sebagai Zainuddin memang masih di bawah Reza, tetapi usaha keras Junot layak diacungi jempol. Walau dalam beberapa scene aktingnya terlalu ngotot bagi saya, tapi di scene saat ia mengungkapkan kekecewaan kepada Hayati adalah akting terbaik Junot sepanjang film. Ekspresi yang bertentangan dengan apa yang diucapkan pun terasa sangat pas. Kenapa tidak dari awal seperti itu Junot?
Pevita sebagai Hayati, saya tidak tahu kenapa Pevita yang terpilih memerankan Hayati. Saya akui Pevita di film ini terlihat cantik, baju (saya suka baju-baju vintagenya ), makeup (jadi pengen nyoba makeup inspired, hehehe) semuanya pas. Aktingnya? Sangat bagus dibandingkan aktingnya di film lain, tapi kurang bisa mengimbangi Junot apalagi Reza (kamu harus lebih meningkatkan skill-mu, Pev. I believe you can do more than this ).
Saya juga tidak menyukai scene yang seharusnya menjadi klimaks yaitu saat kapal Van der Wijck tenggelam, terasa ada yang kurang, entah visual effect atau apa, membuat saya geregetan. Seharusnya ini menjadi adegan yang dahsyat (harusnya sutradaranya belajar pada tenggelamnya Titanic ), tapi saya merasakan adegan ini hambar.
Namun dibalik semua kekurangannya, film ini tetap layak ditonton. Banyak sekali pesan moral yang bisa diambil: Zainuddin tidak lantas membawa lari Hayati saat cinta mereka terhalang adat istiadat, Zainuddin tidak lantas mengakhiri hidup tapi membuktikan diri bahwa anak terbuang bisa menjadi seorang terhormat, Hayati yang mengorbankan diri menikah dengan Aziz demi menghindari konflik keluarga dengan para pemangku adat, Hayati yang meski tak mencintai Aziz dan selalu disakiti suaminya tetap menjalankan perannya sebagai istri dengan penuh pengabdian, Zainuddin yang meski telah disakiti Aziz tetap memberi pertolongan saat Aziz dalam kesulitan. Film ini juga menampilkan kritik kepada pemuda jaman itu yang di satu sisi tetap memegang adat istiadat sekaligus dikaburkan oleh arus modernisasi yang gencar akibat pengaruh dari Belanda, menjadikan beberapa diantaranya mengalami krisis identitas seperti yang terjadi pada Khadijah (adik Aziz, sahabat Hayati), Aziz, maupun Hayati sendiri yang sengaja ‘diubah’ dari gadis desa yang memiliki kecantikan alami menjadi gadis modern sesuai selera Aziz.
Mau mendownload film ini, Oke langsung sedot saja gays. Jika linknya udah kadaluarsa
silahkan hubungi via email yahoo mail, nanti akan saya perbaharui
Link Download via : GD
! Perhatian :
Budayakan Chat (Tombol Hijau Disebelah Kanan Bawah) Terlebih Dahulu Sebelum Mendownload.
No comments:
Post a Comment